Ungkapan Sontoloyo dan Genderuwo Sangat Tidak Mendidik
Pakar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing mengungkapkan kalau dilihat dari perpektif rakyat, istilah-istilah yang muncul dari kedua kubu pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden tersebut sangat tidak bermanfaat.
Menurutnya, konsep istilah yang dimunculkan kedua pasangan itu sangat tidak baik, utamanya bagi masyarakat. Sejatinya mereka menawarkan program dan gagasan kepada rakyat, bukan malah sebaliknya membuat istilah yang tidak mengedukasi kepada publik.
“Dengan munculnya istilah-istilah tersebut memang dapat menguntungkan paslon dari sudut popularitas. Paling tidak mereka diperbicangkan. Baik itu di sosial media maupun ditengah masyarakat,” ungkap Emrus kepada garudanews.id, Rabu (14/11).
Namun demikian seharusnya para paslon lebih fokus kepada program yang terukur sesuai dengan interval waktu tertentu. Seperti tahun pertama tahun kedua dan tahun ketiga. Tapi apakah akan berkorelasi dengan akseptabilitas dan quizenable.
“Kalaupun berkorelasi dengan elektabilitas menurut saya justru yang lebih baik adalah menawarkan program dan sekaligus memberikan pendidikan politik terhadap masyarakat. Sehingga tidak menghabiskan energi kita dalam perbincangan dalam konsep yang sifatnya sangat remeh temeh,” ujar Direktur EmrusCorner ini.
Emrus menyebutkan, munculnya istilah-isltilah diksi sebagai proses dari dialektika diantara kedua kubu paslon tersebut. Misalnya, munculnya istilah sontoloyo yang diungkapkan Joko Widodo.
“Pak Jokowi memunculkan gagasasan tersebut, karena memang ditengah masyarakat ada fenomena yang tidak baik ditengah masyarakat. Misalnya adanya politik adudomba,memfitnah yang dinilainya dapat berpotensi memecah belah bangsa. Maka perilaku tersebut diistilahkan sebagai politik sontoloyo, meski istilah tersebut sangatlah tidak produktif bila ditujukan kepada seseorang. Karena sama dengan merendahkan,” tuturnya.