Oleh karena itu, Menteri Susi mengimbau agar masyarakat memulai gerakan kecil untuk mengurangi sampah plastik. Beberapa langkahnya di antaranya dengan meninggalkan penggunaan botol plastik sekali pakai, sedotan, kantong plastik, dan sebagainya, kemudian beralih pada bahan yang dapat digunakan berkali-kali dan dapat diuraikan dengan mudah.
Semangat yang sama ditunjukkan oleh anggota Pandu Laut. Ridho Slank misalnya, ia mengungkapkan keprihatinan karena Indonesia tercatat sebagai penyumbang sampah plastik kedua terbesar di dunia.
“Kalau kita diving sampai di kedalaman 40 meter masih ada sampah plastik. Kalau kita menonton Pacific Ocean, itu sampai kedalaman 1 km masih nemu ban mobil katanya. Microplastik dan sekarang nanoplastik, tidak hanya berdampak pada ikan tetapi pada kesehatan manusia,” tutur dia.
Kemudian, Menteri Susi juga menyoroti kegiatan eksploitasi jenis ikan yang dilindungi seperti hiu dan pari manta. “Kita ini juga menjadi eksportir sirip ikan hiu terbesar di dunia, lalu pari manta juga sama. Ini semua binatang yang sudah dilindungi walaupun ada hiu yang belum masuk cites, tapi beberapa itu sudah dilindungi. Harusnya kita jaga. Label ini bikin kita malu karena banyak dicibir oleh dunia,” imbuhnya.
Sebagai aktivis laut yang sangat concern terhadap keberlangsungan hewan laut, utamanya hiu, Kaka Slank sangat sependapat dengan Menteri Susi. Menurutnya, banyaknya hiu di laut dapat mengindikasikan tingkat kesehatan laut. Semakin banyak hiu artinya semakin sehat sebuah laut.
Namun ia menyayangkan, tingginya permintaan terhadap sirip maupun daging hiu membuat nelayan berlomba-lomba menangkapnya. Padahal menurutnya, hiu memiliki kandungan mercury yang jauh lebih tinggi dibandingkan ikan lainnya yang dapat menjadi racun bagi yang mengonsumsinya.
Praktik destructive fishing juga marak terjadi di berbagai wilayah mulai dengan menggunakan bom, dinamit, hingga portas sianida. Portas sianida memiliki daya rusak yang sangat tinggi, di mana 1 gram sianida dapat merusak 6 meter persegi wilayah laut. Oleh karena itu semua kegiatan destructive fishing ini harus segera dihentikan.
Cara menghentikannya adalah dengan menumbuhkan rasa cinta terhadap laut sehingga muncul keinginan untuk menjaga. Sebagaimana disampaikan Marcell Siahaan, menjaga sesuatu sudah menjadi bagian kehidupan manusia suka atau pun tidak suka. Seperti halnya menjaga laut yang merupakan legacy (warisan) yang disiapkan untuk anak cucu kita.
Pada kegiatan tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga melakukan kampanye penyelenggaraan Our Ocean Conference (OOC) ke-5 pada tanggal 29-30 Oktober 2018 mendatang, di mana Indonesia didapuk sebagai tuan rumah. Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Brahmantya Satyamurti Poerwadi menjelaskan, OOC 2018 akan dijadikan momentum untuk menunjukan kepada dunia Internasional leadership Indonesia di bidang kelautan.
“Melalui konferensi ini, kita akan mendorong para pemimpin dunia untuk berkomitmen menjaga lautan kita dan meyakinkan dunia bahwa laut juga memiliki hak untuk dilindungi (Ocean Right),” jelas Brahmantya.(Red/Ed)